Bina Marga Propinsi Jawa Tengah dinilai Warga melakukan kegiatan tidak terpuji,
memojokkan Pemerintah Kota Semarang dan DPRD Kota Semarang terkait rencana pembangunan tol Semarang-Solo untuk melanggar dan mengabaikan RDTRK Kota Semarang dan DPRD Kota Semarang terkait PERDA No. 12 Tahun 2004 BWK VII Banyumanik. Masalahnya rencana pembangunan jalan tol Semarang-Solo yang disosialisasikan dan telah diterbitkan dalam draf AMDAL yang dikerjakan oleh PT. Virama Karya atas perintah Bina Marga Propinsi Jawa Tengah tidak mengacu pada RDTRK, mestinya Walikota di “WONGKE” karena pemerintah kota yang memiliki lahan, harusnya sejak awal dirembuk bersama dan harus mengikuti peraturan PERDA 12 Tahun 2004 masih berlaku 2000-2010.
Menurut Moh. Mabrur Taufik, S.Ag.,S.E.,MM yang juga Dosen, Konsultan Manajemen, Trainer, hal tersebut jelas melanggar kode etik dan pemaksaan kehendak, menangnya sendiri tanpa dasar dan menginjak-injak masyarakat se-Kota Semarang dan DPRD, serta menodai filosofi berbisnis yaitu asas legalitas hukum.
Tambahnya lagi lanjut Moh. Mabrur Taufik, tidak hanya melanggar kode etik dan pemaksaan kehendak, menangnya sendiri tanpa dasar dan menginjak-injak masyarakat se-Kota Semarang dan DPRD, serta menodai filosofi berbisnis yaitu asas legalitas hukum tetapi juga membohongi masyarakat atas kekuatan kontruksi jalan tol itu sendiri yang rapuh. Terlihat hal tersebut saat sosialisasi dan terbit dalam draf AMDAL bahwa jalan tol berumur 30 tahun, dan setelah itu pengelolaannya diserahkan pada Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah Propinsi. Umur yang sangat pendek tersebut akan memberatkan Pemerintah Kota dan Propinsi, apalagi diketahui bersama bahwa jalan tol Semarang-Solo mencapai BEP sekitar 45 tahun, bisa dibayangkan kondisi jalan tol tersebut saat itu.
BEP yang panjang dapat dikatakan tidak layak secara ekonomis, bisnis macam apa ini?alih-alih PEMPROP dan PEMKOT hanya sebatas penyertaan modal bukan memiliki dengan demikian maka untung atau buntung? Hal tersebut jelas proyek instant, hanya mengejar target tertentu dengan mengabaikan kepentingan public dimasa yang akan datang dan cenderung gengsi dengan Negara tetangga. Kata Moh. Mabrur Taufik kepada WAWASAN tadi pagi.
Menurut Moh. Mabrur Taufik, yang namanya bisnis itu harus mengutamakan kapan modal harus kembali, seberapa besar keuntungan yang akan didapat, prospek kedepan bagaimana, apakah justru menimbulkan biaya social yang tinggi. Pada saat penyerahan pengelolaan tol ke PEMKOT dan/ PEMPROP diprediksi kondisi jalan mulai ambruk dan tidak menghasilkan lagi. Kondisi penyertaan modal, bagaimana proses bagi hasilnya, apakah sudah dirumuskan?
Menurut Moh. Mabrur Taufik, yang menjadi permasalahan adalah mestinya lahan yang sudah disiapkan PEMKOT dihargai (tertuang dalam RDTRK persetujuan DPRD dan reperesentasi rakyat Se-Kota Semarang), bukan merayu untuk mencabut, merevisi dan berbagai alasan yang tidak masuk akal, kalau tidak siap membangun lebih baik menyerah saja.
Berbagai dalih untuk “memaksakan” dikeluarkan dalam berbagai statemen: adanya usulan amandemen PERDA No. 12 Tahun 2004 (Suara Merdeka 27/12/05), jika sesuai PERDA lebih mahal dan berbahaya (Suara Merdeka 27/12/05), rute tol tidak melanggar PERDA dan masih dalam Blok BWK VII dan koridor 500m (Suara Merdeka 9/12/05), Ajakan Gubernur supaya masyarakat berpikir jernih, tidak menolak tol (kompas 10/12/05), dan ungkapan dari Ketua PPJT bahwa wajar warga mengadu pada KON dan kami tidak resah (Kompas 4 desember 05).
Anehnya tambah dari Moh. Mabrur Taufik, adanya banyak kejanggalan yang dilakukan oleh instansi terkait rencana tol, mereka berkata tanpa dasar yang pasti, jawaban mengada-ada dan simpangsiur. Bagaimana tidak simpangsiur; gubernur mengatakan AMDAL dan DED masih disempurnakan (Kompas, 4 Desember 05) tetapi Kepala Bapedalda mengatakan bahwa AMDAl sudah jadi oktober 2004, AMDAL sudah dapat diajukan sebagai syarat dimulai pembangunan tol. Anehnya lagi instansi terkait lainya juga belum pernah diajak bicara tentang tol seperti BKSDA (Suara Merdeka 9 desember 2005).
Mestinya jalan tol direncanakan dengan matang, segala peraturan dipenuhi termasuk keterlibatan masyarakat dalam komisi penilai AMDAL, dan jika DED disyahkan berarti cacat, karena menurut fakta dilapangan kira-kira masih 6 lokasi sonder dan burring belum terlaksana khusus didaerah tirto agung dan klentengsari.
Kalau dicermati lebih dalam lagi banyak eraturan yang dilanggar disamping PERDA yaitu UU no. 5 Thn 90) pasal 9 ayat 1 menyebutkan “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam yaitu hutan konservasi. Di Jateng data menyebutkan bahwa hutan yang tersedia tinggal 19%, idealnya 30%. Berarti jika terkena proyek tol adanya pengurangan drastis lahan konservasi. Banjir siap menanti tiap musim, siapa yang bertanggungjawab? Untung atau buntung? Banjir bandang Kota Semarang siqap menerjang!
Pihak terkait rencana tol hendaknya memperhatikan lebih jernih berbagai masukkan dari pakar maupun masyarakat. Seperti pakar dari UNDIP Sudharto P Hadi mengatakan bahwa, masih adanya pertentangan dikalangan masyarakat mengenai masalah lahan yang akan dilewati tol, tidak seharusnya AMDAL disyahkan, tambahnya fungsi hutan jika tidak diperhatikan, itu bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Drs. Djoko Setijowarno, MT pakar dari UNIKA Soegiyopranoto mengusulkan agar pemerintah mulai memikirkan jalan tol diatas jalan raya yang sudah ada, tambahnya kontruksi mirip jalan laying sudah dikembangkan di Thailand, penggunaan lahan pertanian atau hutan menimbulkan efek ganda, biaya kontruksi jalan tol mirip jalan laying memang lebih mahan, tetapi secara ekonomis keseluruhan biaya lebih rendah (Suara Merdeka 13 Desember 2005).
Menurut Moh. Mabrur Taufik, S.Ag.,S.E.,MM yang juga Dosen, Konsultan Manajemen, Trainer, hal tersebut jelas melanggar kode etik dan pemaksaan kehendak, menangnya sendiri tanpa dasar dan menginjak-injak masyarakat se-Kota Semarang dan DPRD, serta menodai filosofi berbisnis yaitu asas legalitas hukum.
Tambahnya lagi lanjut Moh. Mabrur Taufik, tidak hanya melanggar kode etik dan pemaksaan kehendak, menangnya sendiri tanpa dasar dan menginjak-injak masyarakat se-Kota Semarang dan DPRD, serta menodai filosofi berbisnis yaitu asas legalitas hukum tetapi juga membohongi masyarakat atas kekuatan kontruksi jalan tol itu sendiri yang rapuh. Terlihat hal tersebut saat sosialisasi dan terbit dalam draf AMDAL bahwa jalan tol berumur 30 tahun, dan setelah itu pengelolaannya diserahkan pada Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah Propinsi. Umur yang sangat pendek tersebut akan memberatkan Pemerintah Kota dan Propinsi, apalagi diketahui bersama bahwa jalan tol Semarang-Solo mencapai BEP sekitar 45 tahun, bisa dibayangkan kondisi jalan tol tersebut saat itu.
BEP yang panjang dapat dikatakan tidak layak secara ekonomis, bisnis macam apa ini?alih-alih PEMPROP dan PEMKOT hanya sebatas penyertaan modal bukan memiliki dengan demikian maka untung atau buntung? Hal tersebut jelas proyek instant, hanya mengejar target tertentu dengan mengabaikan kepentingan public dimasa yang akan datang dan cenderung gengsi dengan Negara tetangga. Kata Moh. Mabrur Taufik kepada WAWASAN tadi pagi.
Menurut Moh. Mabrur Taufik, yang namanya bisnis itu harus mengutamakan kapan modal harus kembali, seberapa besar keuntungan yang akan didapat, prospek kedepan bagaimana, apakah justru menimbulkan biaya social yang tinggi. Pada saat penyerahan pengelolaan tol ke PEMKOT dan/ PEMPROP diprediksi kondisi jalan mulai ambruk dan tidak menghasilkan lagi. Kondisi penyertaan modal, bagaimana proses bagi hasilnya, apakah sudah dirumuskan?
Menurut Moh. Mabrur Taufik, yang menjadi permasalahan adalah mestinya lahan yang sudah disiapkan PEMKOT dihargai (tertuang dalam RDTRK persetujuan DPRD dan reperesentasi rakyat Se-Kota Semarang), bukan merayu untuk mencabut, merevisi dan berbagai alasan yang tidak masuk akal, kalau tidak siap membangun lebih baik menyerah saja.
Berbagai dalih untuk “memaksakan” dikeluarkan dalam berbagai statemen: adanya usulan amandemen PERDA No. 12 Tahun 2004 (Suara Merdeka 27/12/05), jika sesuai PERDA lebih mahal dan berbahaya (Suara Merdeka 27/12/05), rute tol tidak melanggar PERDA dan masih dalam Blok BWK VII dan koridor 500m (Suara Merdeka 9/12/05), Ajakan Gubernur supaya masyarakat berpikir jernih, tidak menolak tol (kompas 10/12/05), dan ungkapan dari Ketua PPJT bahwa wajar warga mengadu pada KON dan kami tidak resah (Kompas 4 desember 05).
Anehnya tambah dari Moh. Mabrur Taufik, adanya banyak kejanggalan yang dilakukan oleh instansi terkait rencana tol, mereka berkata tanpa dasar yang pasti, jawaban mengada-ada dan simpangsiur. Bagaimana tidak simpangsiur; gubernur mengatakan AMDAL dan DED masih disempurnakan (Kompas, 4 Desember 05) tetapi Kepala Bapedalda mengatakan bahwa AMDAl sudah jadi oktober 2004, AMDAL sudah dapat diajukan sebagai syarat dimulai pembangunan tol. Anehnya lagi instansi terkait lainya juga belum pernah diajak bicara tentang tol seperti BKSDA (Suara Merdeka 9 desember 2005).
Mestinya jalan tol direncanakan dengan matang, segala peraturan dipenuhi termasuk keterlibatan masyarakat dalam komisi penilai AMDAL, dan jika DED disyahkan berarti cacat, karena menurut fakta dilapangan kira-kira masih 6 lokasi sonder dan burring belum terlaksana khusus didaerah tirto agung dan klentengsari.
Kalau dicermati lebih dalam lagi banyak eraturan yang dilanggar disamping PERDA yaitu UU no. 5 Thn 90) pasal 9 ayat 1 menyebutkan “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam yaitu hutan konservasi. Di Jateng data menyebutkan bahwa hutan yang tersedia tinggal 19%, idealnya 30%. Berarti jika terkena proyek tol adanya pengurangan drastis lahan konservasi. Banjir siap menanti tiap musim, siapa yang bertanggungjawab? Untung atau buntung? Banjir bandang Kota Semarang siqap menerjang!
Pihak terkait rencana tol hendaknya memperhatikan lebih jernih berbagai masukkan dari pakar maupun masyarakat. Seperti pakar dari UNDIP Sudharto P Hadi mengatakan bahwa, masih adanya pertentangan dikalangan masyarakat mengenai masalah lahan yang akan dilewati tol, tidak seharusnya AMDAL disyahkan, tambahnya fungsi hutan jika tidak diperhatikan, itu bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Drs. Djoko Setijowarno, MT pakar dari UNIKA Soegiyopranoto mengusulkan agar pemerintah mulai memikirkan jalan tol diatas jalan raya yang sudah ada, tambahnya kontruksi mirip jalan laying sudah dikembangkan di Thailand, penggunaan lahan pertanian atau hutan menimbulkan efek ganda, biaya kontruksi jalan tol mirip jalan laying memang lebih mahan, tetapi secara ekonomis keseluruhan biaya lebih rendah (Suara Merdeka 13 Desember 2005).