Selama ini petani selalu dikorbankan kalau ada kegiatan pembangunan. Nanti di Jawa Tengah akan ada pembangunan jalan tol. Banyak sawah yang akan tergusur. Dengan Perpres Nomor 36
Tahun 2005, pemerintah semakin mudah menggusur sawah kami untuk membangun jalan tol,” kata Nur Eko, koordinator petani yang tergabung dalam Ortaja, organisasi petani Jawa Tengah.
Kegalauan para petani yang disampaikan Nur Eko dalam aksi demo sekitar 5.000 orang di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah Jawa Tengah, Semarang, pertengahan Juni 2005, bukannya tanpa alasan. Untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo sepanjang 80 kilometer, akan ada lahan seluas 413 hektar yang dibebaskan yang sebagian besar adalah sawah atau lahan pertanian.
Jalan tol Semarang-Solo akan dibangun per lajurnya selebar 3,6 meter, bahu luar jalan selebar tiga meter, bahu dalam 1,5 meter, dan lebar median 5,5 meter. Dengan spesifikasi ini, lebar jalan tol Semarang-Solo minimal mencapai 40 meter.
Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah Danang Atmodjo meyakinkan pembebasan lahan untuk membangun jalan tol Semarang-Solo tidak akan merugikan masyarakat. ”Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, pembebasan lahan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum mengacu pada harga pasar,” kata Danang.
Ia belum bisa menjelaskan berapa patokan harga pasar untuk pembebasan lahan yang terkena proyek jalan tol Semarang-Solo. Hal ini, katanya, akan dibahas oleh tim khusus: kelompok kerja tanah. Meski pembangunan tol Semarang-Solo direncanakan dimulai akhir tahun 2005, katanya, sampai saat ini belum ada sosialisasi mengenai itu kepada masyarakat yang lahannya bakal terkena proyek.
”Sosialisasi rute jalan tol memang belum dilakukan, ini untuk mencegah praktik spekulasi tanah. Sosialisasi akan dilakukan akhir tahun 2005. Kami mohon dukungan warga untuk membantu pembangunan jalan tol ini karena ini untuk kepentingan kita semua,” kata Danang.
Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Djoko Setijowarno mempertanyakan tujuan pembangunan tol untuk kepentingan masyarakat. ”Masyarakat yang mana karena dalam sejarah selama ini tidak ada masyarakat sekitar jalan tol yang menjadi sejahtera setelah wilayah mereka dilewati jalan tol. Yang ada juga tanah mereka menjadi berkurang karena tergusur untuk pembangunan jalan tol,” kata Djoko.
Soal Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2005, kata Djoko, jelas tujuannya bukan untuk kepentingan umum, melainkan lebih untuk kepentingan bisnis. Seperti pembangunan jalan tol, lebih untuk memperlancar bisnis atau kegiatan ekonomi sekelompok orang atau golongan daripada masyarakat, terutama masyarakat yang lahannya tergusur.
Pengalaman selama ini, setiap kali pemerintah membangun, masyarakat diminta partisipasinya dengan merelakan tanahnya terkena proyek. Masyarakat, terutama petani, tidak pernah diuntungkan jika ada proyek-proyek seperti itu meski proyek itu dalam skala besar. Tetap saja masyarakat mendapat ”ganti rugi”, bukan ”ganti untung”.
Selain itu, masyarakat juga tidak pernah merasakan manfaat dari adanya proyek-proyek tersebut. Mereka tidak bisa menikmati proyek tersebut dalam arti sesungguhnya, mendapatkan keuntungan atau kemudahan karena proyek tersebut. Mungkin satu-satunya ”keuntungan” mereka adalah dapat menikmati (baca: melihat) wujud proyek-proyek tersebut yang biasanya identik dengan modernisasi atau kemajuan teknologi.
Era reformasi sempat memberikan harapan bagi masyarakat, setidaknya pemerintah tidak bisa lagi ”sewenang-wenang” menggusur warganya atas nama pembangunan. Namun, Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum memupus harapan bahwa hak rakyat akan diperhatikan.
Atas nama kepentingan umum, negara dapat mencabut hak atas tanah milik seseorang atau institusi. Artinya, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menggunakan Perpres No 36/2005 untuk ”mengegolkan” rencana pembangunan yang telah disusun meski ada penolakan dari masyarakat. Dan ini telah digunakan oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso untuk melancarkan proyek pembangunan jalan tol.
Karena itu sekitar 5.000 petani yang tergabung dalam Ortaja dalam aksinya medio Juni 2005 di Semarang menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencabut Perpres No 36/2005 karena dinilai merupakan simbol penindasan pada petani. Bagi petani, perpres itu bukan hanya masalah ganti rugi, tetapi juga masalah keberlanjutan kehidupan mereka.
”Katanya Indonesia ini negara agraris, tetapi mengapa kami para petani ini selalu terancam. Kami selalu dikalahkan dalam setiap kegiatan pembangunan, tetapi di sisi lain kami dituntut untuk berproduksi banyak. Kalau sawah kami digusur, bagaimana kami menanam padi, bagaimana hidup kami sekeluarga,” kata seorang petani dalam orasinya.
Nur Eko menegaskan, dengan adanya Perpres No 36/2005, petani akan dirugikan karena dalam sejarah tidak pernah ada pembebasan lahan untuk pembangunan yang menguntungkan pemilik lahan. Karena itu, jika presiden masih memihak kepada kepentingan rakyat, maka perpres itu harus segera dicabut.
Tjahyono Rahardjo dari Program Magister Lingkungan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang mendukung permintaan para petani agar presiden mencabut Perpres No 36/2005. Namun, pencabutan perpres saja tidak cukup, pemerintah harus meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR) tahun 1966.
”Dari sedikit negara yang belum meratifikasi, Indonesia termasuk di dalamnya. Jika Indonesia meratifikasi ICESCR, terbitnya Perpres No 36/2005 pasti akan mendapat reaksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini tidak sekadar hak masyarakat untuk mempertahankan tanahnya, tetapi juga menyangkut hak masyarakat untuk mendapatkan rumah yang layak,” kata Tjahyono. (YOVITA ARIKA)
Kegalauan para petani yang disampaikan Nur Eko dalam aksi demo sekitar 5.000 orang di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah Jawa Tengah, Semarang, pertengahan Juni 2005, bukannya tanpa alasan. Untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo sepanjang 80 kilometer, akan ada lahan seluas 413 hektar yang dibebaskan yang sebagian besar adalah sawah atau lahan pertanian.
Jalan tol Semarang-Solo akan dibangun per lajurnya selebar 3,6 meter, bahu luar jalan selebar tiga meter, bahu dalam 1,5 meter, dan lebar median 5,5 meter. Dengan spesifikasi ini, lebar jalan tol Semarang-Solo minimal mencapai 40 meter.
Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah Danang Atmodjo meyakinkan pembebasan lahan untuk membangun jalan tol Semarang-Solo tidak akan merugikan masyarakat. ”Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, pembebasan lahan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum mengacu pada harga pasar,” kata Danang.
Ia belum bisa menjelaskan berapa patokan harga pasar untuk pembebasan lahan yang terkena proyek jalan tol Semarang-Solo. Hal ini, katanya, akan dibahas oleh tim khusus: kelompok kerja tanah. Meski pembangunan tol Semarang-Solo direncanakan dimulai akhir tahun 2005, katanya, sampai saat ini belum ada sosialisasi mengenai itu kepada masyarakat yang lahannya bakal terkena proyek.
”Sosialisasi rute jalan tol memang belum dilakukan, ini untuk mencegah praktik spekulasi tanah. Sosialisasi akan dilakukan akhir tahun 2005. Kami mohon dukungan warga untuk membantu pembangunan jalan tol ini karena ini untuk kepentingan kita semua,” kata Danang.
Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Djoko Setijowarno mempertanyakan tujuan pembangunan tol untuk kepentingan masyarakat. ”Masyarakat yang mana karena dalam sejarah selama ini tidak ada masyarakat sekitar jalan tol yang menjadi sejahtera setelah wilayah mereka dilewati jalan tol. Yang ada juga tanah mereka menjadi berkurang karena tergusur untuk pembangunan jalan tol,” kata Djoko.
Soal Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2005, kata Djoko, jelas tujuannya bukan untuk kepentingan umum, melainkan lebih untuk kepentingan bisnis. Seperti pembangunan jalan tol, lebih untuk memperlancar bisnis atau kegiatan ekonomi sekelompok orang atau golongan daripada masyarakat, terutama masyarakat yang lahannya tergusur.
Pengalaman selama ini, setiap kali pemerintah membangun, masyarakat diminta partisipasinya dengan merelakan tanahnya terkena proyek. Masyarakat, terutama petani, tidak pernah diuntungkan jika ada proyek-proyek seperti itu meski proyek itu dalam skala besar. Tetap saja masyarakat mendapat ”ganti rugi”, bukan ”ganti untung”.
Selain itu, masyarakat juga tidak pernah merasakan manfaat dari adanya proyek-proyek tersebut. Mereka tidak bisa menikmati proyek tersebut dalam arti sesungguhnya, mendapatkan keuntungan atau kemudahan karena proyek tersebut. Mungkin satu-satunya ”keuntungan” mereka adalah dapat menikmati (baca: melihat) wujud proyek-proyek tersebut yang biasanya identik dengan modernisasi atau kemajuan teknologi.
Era reformasi sempat memberikan harapan bagi masyarakat, setidaknya pemerintah tidak bisa lagi ”sewenang-wenang” menggusur warganya atas nama pembangunan. Namun, Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum memupus harapan bahwa hak rakyat akan diperhatikan.
Atas nama kepentingan umum, negara dapat mencabut hak atas tanah milik seseorang atau institusi. Artinya, pemerintah atau pemerintah daerah dapat menggunakan Perpres No 36/2005 untuk ”mengegolkan” rencana pembangunan yang telah disusun meski ada penolakan dari masyarakat. Dan ini telah digunakan oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso untuk melancarkan proyek pembangunan jalan tol.
Karena itu sekitar 5.000 petani yang tergabung dalam Ortaja dalam aksinya medio Juni 2005 di Semarang menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencabut Perpres No 36/2005 karena dinilai merupakan simbol penindasan pada petani. Bagi petani, perpres itu bukan hanya masalah ganti rugi, tetapi juga masalah keberlanjutan kehidupan mereka.
”Katanya Indonesia ini negara agraris, tetapi mengapa kami para petani ini selalu terancam. Kami selalu dikalahkan dalam setiap kegiatan pembangunan, tetapi di sisi lain kami dituntut untuk berproduksi banyak. Kalau sawah kami digusur, bagaimana kami menanam padi, bagaimana hidup kami sekeluarga,” kata seorang petani dalam orasinya.
Nur Eko menegaskan, dengan adanya Perpres No 36/2005, petani akan dirugikan karena dalam sejarah tidak pernah ada pembebasan lahan untuk pembangunan yang menguntungkan pemilik lahan. Karena itu, jika presiden masih memihak kepada kepentingan rakyat, maka perpres itu harus segera dicabut.
Tjahyono Rahardjo dari Program Magister Lingkungan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang mendukung permintaan para petani agar presiden mencabut Perpres No 36/2005. Namun, pencabutan perpres saja tidak cukup, pemerintah harus meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR) tahun 1966.
”Dari sedikit negara yang belum meratifikasi, Indonesia termasuk di dalamnya. Jika Indonesia meratifikasi ICESCR, terbitnya Perpres No 36/2005 pasti akan mendapat reaksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini tidak sekadar hak masyarakat untuk mempertahankan tanahnya, tetapi juga menyangkut hak masyarakat untuk mendapatkan rumah yang layak,” kata Tjahyono. (YOVITA ARIKA)