Berlakunnya Undang-undang 26 tahun 2007 tentang tata ruang, akan memberikan palajaran yang berarti bagi Pemkot Semarang untuk
mengadakan perbaikan di berbagai sektor termasuk rencana tol Semarang-Solo. Salah satu tujuan yang direncanakan tol Semarang-Solo diharapkan dapat mengurangi kepadatan lalu lintas pusat kota/kabupaten dan memperpendek jarak tempuh sehingga dapat mempercepat pertumbuhan perekonomian. (sumber: Ringkasan AMDAL, Desember 2004). Jalan tol Semarang-Solo rencananya dibuat sepanjang 75,6 km dengan anggaran Rp 6,135 triliun (Suara Merdeka, 18 Agustus 2005).
Pembangunan tersebut akan dimulai Oktober 2005 dengan diawali pembebasan tanah Semarang-Bawen. Di wilayah Semarang terdapat 625 bidang tanah yang akan dibebaskan dengan luas sekitar 57,19 ha. Untuk pengadaan lahan tersebut Pemkot telah menyiapkan Rp 15 milyar. Selain biaya, pemkot juga membentuk Desk Tol Semarang-Solo yang bertugas membantu pengadaan tanah untuk jalan tol. Desk beranggotakan unsur Badan Pertanahan Nasional (BPN), kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Dinas Bina Marga Jateng, Asisten Tata Praja Setda Kota Semarang, Bagian Hukum, Bagian Umum, Kecamatan dan Kelurahan.
Antisipasi masuknya spekulan pun telah dirumuskan, unsurnya meliputi Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama Pemkab, Pemkot, camat, kepala desa dan PPAT akan membatasi bahkan tidak melayani transaksi atau jual beli tanah di kawasan yang telah ditetapkan sebagai lahan jalan tol termasuk memberikan sanksi kepada notaris yang memproses mutasi kepemilikan tanah. Bahkan Pak Sukawi (SM, 23 Agustus 2005) menegaskan bahwa pemerintah memiliki senjata pamungkas yaitu Perpres 36/2005.
Perubahan Rute Tol Semarang-Solo
Sosialisasi pembangunan jalan tol Semarang-Solo dilakukan hari Jumat tanggal 7 Oktober 2005 pukul 20.00 di Balai Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan pula perubahan rute jalan tol Semarang-Solo dibanding dengan rute pada PERDA No. 12 Tahun 2004 (pada peta yang ditampilkan, rute lama berwarna merah dan rute baru berwarna hijau). Jika pada rute lama daerah Tirto Agung dan Klentengsari tidak terlewati tol, tidak demikian pada rute yang baru hal inilah yang membuat sosialisasi tersebut berjalan cukup ”panas”. Bahkan alasan perubahan rute tersebut semakin ”memanaskan” sesi dialog. Alasan tersebut beberapa diantaranya adalah: (1) Menurut Kasubid Pengembangan Kota, Ir. M. Farchan MT perubahan tersebut disebabkan persoalan teknis diantaranya rute lama melewati sumber air sehingga dibuat melengkung supaya sumber air tersebut tidak mati, selain itu rute lama baru dikaji secara makro; (2) Menurut Kepala Cabang Jasa Marga, David Wijayatno pada rute lama belokan akan terlalu dekat dengan gerbang tol Tembalang selain itu perumahan yang akan dilewati rute lama lebih banyak dari rute yang baru.
Penolakan Masyarakat atas Rute baru
Sekitar 150 warga dari lima kelurahan (Pedalangan, Kramas, Gedawang, Sumurboto, dan Padangsari) yang hadir langsung bereaksi keras terhadap perubahan rute tol dan dengan tegas menyatakan penolakan atas rute tol yang baru. Alasan penolakan tersebut yang pertama mengacu pada PERDA No. 12 tahun 2004 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kota Semarang, Bagian wilayah Kota VII (Kecamatan Banyumanik) tahun 2000-2010. PERDA yang ditandatangani Walikota Semarang, H. Sukawi Sutarip tersebut ditetapkan tanggal 7 Juni 2004. Kupasan penolakan berdasar PERDA tersebut termuat pada Bab XI pasal 51 dimana Buku Rencana dan Album Peta dalam lampiran II dan III merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PERDA ini, yang artinya rute lama yang terdapat pada Album Peta mempunyai kekuatan hukum. Pada Bab V pasal 41 disebutkan bahwa ”Semua program, kegiatan atau proyek yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah, swasta dan masyarakat luas yang berhubungan dengan tata ruang harus mengacu pada RDTRK. Menilik dari jangka waktu RDTRK berlaku 10 tahun, sehingga RDTRK tersebut masih berlaku hingga 2010 apalagi telah direvisi dan ditetapkan Juni 2004. Artinya alasan yang menyatakan rute lama baru dikaji secara makro gugur. Alasan tersebut secara tidak langsung menuding Dewan Perwakilan Daerah Kota Semarang dan Walikota Semarang telah gegabah menyetujui dan menandatangani PERDA yang baru direvisi 17 bulan yang lalu (terhitung sejak ditetapkan hingga sosialisasi 7/10/2005). Sangat tidak mungkin rute yang baru dikaji secara makro diundangkan pada PERDA yang dibuat dengan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Bila dikaji lebih cermat pematokan rute baru yang dilakukan PT. Virama Karya pada hari Minggu tanggal 28 Agustus 2005 di daerah Tirto Agung yang tanpa dihadiri camat dan lurah sudah merupakan pelanggaran terhadap PERDA No. 12 tahun 2004 dan dapat dikenakan pasal 50. Hal tersebut diakui Kepala Dinas Bina Marga Jateng Ir. Danang Atmodjo MT sebagai akibat misscommunication yang dikarenakan keterlibatan PEMKOT Semarang dalam penyertaan modal proyek tol ini merupakan hal yang baru (wawancara oleh PRO TV tanggal: 9/9/2005).
Alasan yang menyebutkan pada rute lama terdapat sumber air yang masih dipakai juga perlu dipertanyakan. Dalam hal ini masyarakat menuntut transparansi untuk ditunjukkan dengan tepat posisi sumber air tersebut dan dibuktikan. Informasi dari masyarakat Tirto Agung justru daerah mereka memiliki sumber air yang bagus dan terdapat beberapa sendang di sepanjang jalan Tirto Agung, sesuai dengan namanya Tirto yang berarti air dan Agung yang berarti besar. Pembuatan sumurpun tidak perlu dalam cukup antara 8-9 meter saja (bisa dibuktikan dengan survey langsung).
Alasan adanya banyak perumahan yang dilewati rute lama merupakan alasan yang ”aneh” mengingat penetapan rute tersebut juga melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta kecamatan dan kelurahan dan sangat tidak mungkin rute yang telah di PERDA kan ditetapkan tanpa melalui pertimbangan yang matang. Bila wilayah tersebut termasuk pemukiman padat, mengapa rute lama diundangkan dalam PERDA? Dan bila rute lama saat diundangkan belum sepadat sekarang, justru pertanyaannya mengapa bisa terjadi padat? Bukankah seharusnya wilayah yang telah ditetapkan dilewati jalan tol tidak diterbitkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sehingga tidak terjadi pemukiman padat di daerah yang akan dilewati tol. Sementara pada rute baru rumah di daerah tersebut mempunyai IMB dan sebagian merupakan rumah yang baru dibangun berkisar awal 2004 dan ditempati awal 2005. Hal ini menandakan ketidakkonsitenan PEMKOT dalam penetapan rute dan pemberian IMB atas wilayah yang terkena tol serta ketidakadilan atas pengalihan rute, dipertanyakan juga bagaimana manajemen PEMKOT dengan instansi terkait.
Alasan yang menyebutkan rute lama terlalu dekat dengan tol justru membuat kening masyarakat semakin berkerut. Bila DPRD kota Semarang dan Walikota Semarang mendengar alasan tersebut bisa dipastikan tersinggung karena secara tidak langsung diragukan kinerjanya. Masalah dekatnya gerbang tol Tembalang dengan rute lama bisa disiasati dengan menggeser gerbang tol. Biaya untuk itu tidak sebesar biaya perubahan rute yang mencakup: biaya pembuatan PERDA, AMDAL, dan sosialisasi. Apalagi dengan adanya rute baru maka anggaran yang ditetapkan untuk pembebasan lahan menjadi membengkak karena rutenya berkelok-kelok. Terkesan alasan yang disampaikan hanya melihat kepentingan sepihak yang tidak mau repot mengatasi masalah teknis.
Argumen Bapedalda (disampaikan pada sosialisasi di Balai Kelurahan Pedalangan tanggal 7 Oktober 2005) menyatakan bahwa rute baru pernah disosialisasikan warga Pedalangan pada tanggal 28 September 2004 langsung dibantah keras oleh warga yang hadir. Bila begitu lalu siapa saja yang hadir pada sosialisasi tersebut? Apakah benar pada tanggal 28 September 2004 yang disosialisasikan adalah rute baru? Pada forum saat itu tak terdapat jawaban yang memuaskan atas pertanyaan tersebut. Hanya disebutkan oleh Asisten I Bidang Tata Praja Pemkot Semarang, Soemarmo HS penjelasan secara teknis tidak dapat dijabarkan secara keseluruhan pada saat itu, sehingga akan diselenggarakan diskusi kecil bagi warga yang terkena jalan tol. Lalu sosialisasi hari itu untuk apa? bila masih menyisakan pertanyaan.
Menurut Yovita Indrayati, dosen UNIKA Soegijapranata, dalam diskusi di LEMLIT tanggal 14 September 2005, bahwa Keputusan Persetujuan atas Dokumen AMDAL bersifat konkrit, individual, final. Artinya begitu AMDAL terbit maka izin kegiatan, baru dikeluarkan. Sementara sekarang terdapat perubahan rute tentu harus didukung AMDAL baru dan izin yang diberikan atas AMDAL untuk rute lama dicabut. Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan AMDAL juga dipertanyakan dalam forum tersebut. Seharusnya masyarakat dilibatkan dalam proses AMDAL seperti bagan terlampir. Apabila AMDAL yang dibuat cacat hukum maka warga berhak mengajukan gugatan kepada tanggung gugat yaitu: pemrakarsa, konsultan, penilai, pengambil keputusan.
Dalam sosialisasi tersebut tersirat dari para pembicara, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka menerima solusi dari warga melalui Desk Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo melalui nomor 3513366 pesawat 1292. Menyikapi hal tersebut koordinator Forum Komunikasi Jalan Tol (FKJT), Didik menyatakan bahwa pihaknya pernah melayangkan surat aspirasi warga kepada Presiden, Mendagri, Mentri P.U, Gubernur JATENG, Walikota Semarang, DPRD Tk. I Propinsi Jateng, DPRD Tk. II Kota Semarang dan Bina Marga. Selain itu FKJT bersedia mengadakan audiensi untuk presentasi mengenai jalan tol Semarang-Solo.
Seperti yang telah diuraikan di awal penulisan ini di wilayah Semarang terdapat 625 bidang tanah yang akan dibebaskan dengan luas sekitar 57,19 ha. Untuk pengadaan lahan tersebut Pemkot telah menyiapkan Rp 15 milyar. Bisakah secara kasar dihitung berapa kira-kira uang kompensasi yang akan diterima masyarakat per meter persegi dengan dana yang telah disiapkan. Cukupkah? Mengingat harga pasar lahan di Tirto Agung dan Klentengsari berkisar 700 ribu-1,2 juta per meternya, belum bangunan dan tanamannya. Alih-alih bukan penggantian secara wajar yang akan diterima namun ganti rugi sekali. Apalagi keberadaan rumah merupakan salah satu kebutuhan primer dengan kondisi ekonomi serba sulit setelah naiknya BBM.
Mengenai senjata pamungkas, mohon diingat bahwa warga yang terkena dampak jalan tol Semarang-Solo merupakan warga Semarang yang legal sehingga penolakan mereka merupakan wujud hak asasi mereka atas pemilikan lahan. Sementara Perpres 36/2005 hanya dibatasi untuk kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Jalan tol bisa dikatakan bukan untuk kepentingan umum karena tidak semua unsur dapat menggunakannya, dan hanya dapat dilalui oleh kendaraan beroda 4 atau lebih. Dan untuk melewati jalan tol terdapat tarif yang harus dibayar dan bukannya gratis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembangunan jalan tol merupakan kegiatan profit dan bukan untuk kepentingan umum.
Solusi
Dengan anggapan bahwa tak ada permasalahan yang tak dapat diselesaikan. Pembangunan tol saat ini membutuhkan dana yang tidak sedikit terutama setelah naiknya BBM yang mengakibatkan harga materialpun meningkat. Saat ini merupakan saat yang belum tepat untuk melanjutkan proyek tol Semarang-Solo, tunggulah hingga dana terkumpul cukup dan ada investor dengan kekuatan modal yang mencukupi.
Minimize dana dapat dilakukan dengan melanjutkan proyek tol Semarang-Solo sesuai dengan rute yang telah ditetapkan dalam PERDA no. 12 tahun 2004. Dengan rute yang lama maka tak perlu lagi keluar biaya untuk membuat AMDAL baru, ataupun PERDA baru untuk melegalkan rute tersebut bahkan tak perlu lagi ada biaya sosialisasi atas perubahan rute baru. Proyek tol Semarang-Solo bukan proyek yang kecil dan membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga perlu direncanakan secara matang. Bila masih terdapat perubahan rute dan baru diketahui warga jumat 7 Oktober 2005, maka sifat final dari AMDAL tersebut akan menjadi pertanyaan. Ada baiknya sebelum dimulai proyek tersebut mohon dikaji ulang secara matang sehingga apabila ada pertanyaan dari masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dan bukannya alasan baru dikaji secara makro.
Beban APBN yang berat mengakibatkan pemerintah harus mengurangi subsidi BBM. Dengan kondisi demikian masihkah Pemprov ingin membuat PT. Sarana Pembangunan Jateng? Apakah nanti tidak memberati APBD? Siapa yang akan menggaji karyawan PT. Sarana Pembangunan Jateng? Siapa yang akan bekerja pada PT. Sarana Pembangunan Jateng? Bagaimana pengaturan saham dan pembagiannya? Darimana modal yang akan disertakan? Rencanakan dengan baik dan bersih serta jangan beri kesempatan KKN tumbuh di PT. tersebut. Jika tak sanggup batalkan saja rencana pendirian PT Sarana Pembangunan Jateng.
Solusi yang terakhir adalah jangan menawarkan saham atas penggantian pembebasan lahan, berapapun prosentasenya. Gantilah lahan pada rute lama sewajarnya dengan kata lain tidak menurunkan tingkat ekonomi warga yang terkena dampak tol. Bila belum mampu tunda dulu proyek tersebut.
Alternatif lain untuk memperpendek dan mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat juga dilakukan dengan memperlebar dan memperbaiki jalan yang menjadi biang macet seperti pada ruas jalan depan ADA Banyumanik, Pasar Ungaran, daerah Tuntang, Kartosuro dll. Dengan demikian tujuan pemerintah tercapai dengan anggaran yang ada tanpa mengorbankan hak warga. Selain itu biaya pelebaran dan perbaikan jalan jauh lebih murah dibanding pembuatan tol.
Last but not least adalah dengan menghidupkan transportasi hemat energi yaitu ”Kereta Api” cara yang pamungkas supaya tujuan pemerintah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas pusat kota/kabupaten dengan memperpendek jarak tempuh sehingga dapat mempercepat pertumbuhan perekonomian tetap tercapai. Pembebasan lahan untuk Kereta Api tidak seluas pembebasan untuk jalan tol. sehingga dana yang akan dikeluarkan tidak sebesar proyek jalan tol. Pemeliharaan jalur kereta api dan rel tidak semahal jalan tol, maka BEP akan cepat terpenuhi. Semua lapisan masyarakat dapat menikmati transportasi alternatif yang hemat energi. Selain itu dengan adanya jalur Kereta Api yang dibuat melintasi tempat pariwisata maka akan memudahkan turis menjangkau tempat pariwisata Jateng sekaligus menghidupkan pariwisata Jawa Tengah. Dengan pariwisata yang berkembang maka pendapatan masyarakat sekitar tempat pariwisata tersebut terangkat perekonomiannya. Sementara itu para pengusaha makanan, restoran, SPBU tidak perlu lagi khawatir akan sepi karena jalur lalu lintas beralih ke jalan tol yang baru. Tentu saja hal ini tetap harus ditunjang dengan pemeliharaan jalan yang ada dan rambu-rambu lalu lintas yang memadai.. Selamat berkarya, harumkan dan bangun Kota Semarang tanpa mencoreng nama baik sendiri.
LAMPIRAN
BAGAN
PROSEDUR KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL
Masyarakat
Berkepentingan Instansi yang
Bertanggungjawab Pemrakarsa
Sumber: Keputusan KA- BAPEDAL Nomor 08 tahun 2000
Pembangunan tersebut akan dimulai Oktober 2005 dengan diawali pembebasan tanah Semarang-Bawen. Di wilayah Semarang terdapat 625 bidang tanah yang akan dibebaskan dengan luas sekitar 57,19 ha. Untuk pengadaan lahan tersebut Pemkot telah menyiapkan Rp 15 milyar. Selain biaya, pemkot juga membentuk Desk Tol Semarang-Solo yang bertugas membantu pengadaan tanah untuk jalan tol. Desk beranggotakan unsur Badan Pertanahan Nasional (BPN), kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Dinas Bina Marga Jateng, Asisten Tata Praja Setda Kota Semarang, Bagian Hukum, Bagian Umum, Kecamatan dan Kelurahan.
Antisipasi masuknya spekulan pun telah dirumuskan, unsurnya meliputi Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama Pemkab, Pemkot, camat, kepala desa dan PPAT akan membatasi bahkan tidak melayani transaksi atau jual beli tanah di kawasan yang telah ditetapkan sebagai lahan jalan tol termasuk memberikan sanksi kepada notaris yang memproses mutasi kepemilikan tanah. Bahkan Pak Sukawi (SM, 23 Agustus 2005) menegaskan bahwa pemerintah memiliki senjata pamungkas yaitu Perpres 36/2005.
Perubahan Rute Tol Semarang-Solo
Sosialisasi pembangunan jalan tol Semarang-Solo dilakukan hari Jumat tanggal 7 Oktober 2005 pukul 20.00 di Balai Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan pula perubahan rute jalan tol Semarang-Solo dibanding dengan rute pada PERDA No. 12 Tahun 2004 (pada peta yang ditampilkan, rute lama berwarna merah dan rute baru berwarna hijau). Jika pada rute lama daerah Tirto Agung dan Klentengsari tidak terlewati tol, tidak demikian pada rute yang baru hal inilah yang membuat sosialisasi tersebut berjalan cukup ”panas”. Bahkan alasan perubahan rute tersebut semakin ”memanaskan” sesi dialog. Alasan tersebut beberapa diantaranya adalah: (1) Menurut Kasubid Pengembangan Kota, Ir. M. Farchan MT perubahan tersebut disebabkan persoalan teknis diantaranya rute lama melewati sumber air sehingga dibuat melengkung supaya sumber air tersebut tidak mati, selain itu rute lama baru dikaji secara makro; (2) Menurut Kepala Cabang Jasa Marga, David Wijayatno pada rute lama belokan akan terlalu dekat dengan gerbang tol Tembalang selain itu perumahan yang akan dilewati rute lama lebih banyak dari rute yang baru.
Penolakan Masyarakat atas Rute baru
Sekitar 150 warga dari lima kelurahan (Pedalangan, Kramas, Gedawang, Sumurboto, dan Padangsari) yang hadir langsung bereaksi keras terhadap perubahan rute tol dan dengan tegas menyatakan penolakan atas rute tol yang baru. Alasan penolakan tersebut yang pertama mengacu pada PERDA No. 12 tahun 2004 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kota Semarang, Bagian wilayah Kota VII (Kecamatan Banyumanik) tahun 2000-2010. PERDA yang ditandatangani Walikota Semarang, H. Sukawi Sutarip tersebut ditetapkan tanggal 7 Juni 2004. Kupasan penolakan berdasar PERDA tersebut termuat pada Bab XI pasal 51 dimana Buku Rencana dan Album Peta dalam lampiran II dan III merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PERDA ini, yang artinya rute lama yang terdapat pada Album Peta mempunyai kekuatan hukum. Pada Bab V pasal 41 disebutkan bahwa ”Semua program, kegiatan atau proyek yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah, swasta dan masyarakat luas yang berhubungan dengan tata ruang harus mengacu pada RDTRK. Menilik dari jangka waktu RDTRK berlaku 10 tahun, sehingga RDTRK tersebut masih berlaku hingga 2010 apalagi telah direvisi dan ditetapkan Juni 2004. Artinya alasan yang menyatakan rute lama baru dikaji secara makro gugur. Alasan tersebut secara tidak langsung menuding Dewan Perwakilan Daerah Kota Semarang dan Walikota Semarang telah gegabah menyetujui dan menandatangani PERDA yang baru direvisi 17 bulan yang lalu (terhitung sejak ditetapkan hingga sosialisasi 7/10/2005). Sangat tidak mungkin rute yang baru dikaji secara makro diundangkan pada PERDA yang dibuat dengan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Bila dikaji lebih cermat pematokan rute baru yang dilakukan PT. Virama Karya pada hari Minggu tanggal 28 Agustus 2005 di daerah Tirto Agung yang tanpa dihadiri camat dan lurah sudah merupakan pelanggaran terhadap PERDA No. 12 tahun 2004 dan dapat dikenakan pasal 50. Hal tersebut diakui Kepala Dinas Bina Marga Jateng Ir. Danang Atmodjo MT sebagai akibat misscommunication yang dikarenakan keterlibatan PEMKOT Semarang dalam penyertaan modal proyek tol ini merupakan hal yang baru (wawancara oleh PRO TV tanggal: 9/9/2005).
Alasan yang menyebutkan pada rute lama terdapat sumber air yang masih dipakai juga perlu dipertanyakan. Dalam hal ini masyarakat menuntut transparansi untuk ditunjukkan dengan tepat posisi sumber air tersebut dan dibuktikan. Informasi dari masyarakat Tirto Agung justru daerah mereka memiliki sumber air yang bagus dan terdapat beberapa sendang di sepanjang jalan Tirto Agung, sesuai dengan namanya Tirto yang berarti air dan Agung yang berarti besar. Pembuatan sumurpun tidak perlu dalam cukup antara 8-9 meter saja (bisa dibuktikan dengan survey langsung).
Alasan adanya banyak perumahan yang dilewati rute lama merupakan alasan yang ”aneh” mengingat penetapan rute tersebut juga melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta kecamatan dan kelurahan dan sangat tidak mungkin rute yang telah di PERDA kan ditetapkan tanpa melalui pertimbangan yang matang. Bila wilayah tersebut termasuk pemukiman padat, mengapa rute lama diundangkan dalam PERDA? Dan bila rute lama saat diundangkan belum sepadat sekarang, justru pertanyaannya mengapa bisa terjadi padat? Bukankah seharusnya wilayah yang telah ditetapkan dilewati jalan tol tidak diterbitkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sehingga tidak terjadi pemukiman padat di daerah yang akan dilewati tol. Sementara pada rute baru rumah di daerah tersebut mempunyai IMB dan sebagian merupakan rumah yang baru dibangun berkisar awal 2004 dan ditempati awal 2005. Hal ini menandakan ketidakkonsitenan PEMKOT dalam penetapan rute dan pemberian IMB atas wilayah yang terkena tol serta ketidakadilan atas pengalihan rute, dipertanyakan juga bagaimana manajemen PEMKOT dengan instansi terkait.
Alasan yang menyebutkan rute lama terlalu dekat dengan tol justru membuat kening masyarakat semakin berkerut. Bila DPRD kota Semarang dan Walikota Semarang mendengar alasan tersebut bisa dipastikan tersinggung karena secara tidak langsung diragukan kinerjanya. Masalah dekatnya gerbang tol Tembalang dengan rute lama bisa disiasati dengan menggeser gerbang tol. Biaya untuk itu tidak sebesar biaya perubahan rute yang mencakup: biaya pembuatan PERDA, AMDAL, dan sosialisasi. Apalagi dengan adanya rute baru maka anggaran yang ditetapkan untuk pembebasan lahan menjadi membengkak karena rutenya berkelok-kelok. Terkesan alasan yang disampaikan hanya melihat kepentingan sepihak yang tidak mau repot mengatasi masalah teknis.
Argumen Bapedalda (disampaikan pada sosialisasi di Balai Kelurahan Pedalangan tanggal 7 Oktober 2005) menyatakan bahwa rute baru pernah disosialisasikan warga Pedalangan pada tanggal 28 September 2004 langsung dibantah keras oleh warga yang hadir. Bila begitu lalu siapa saja yang hadir pada sosialisasi tersebut? Apakah benar pada tanggal 28 September 2004 yang disosialisasikan adalah rute baru? Pada forum saat itu tak terdapat jawaban yang memuaskan atas pertanyaan tersebut. Hanya disebutkan oleh Asisten I Bidang Tata Praja Pemkot Semarang, Soemarmo HS penjelasan secara teknis tidak dapat dijabarkan secara keseluruhan pada saat itu, sehingga akan diselenggarakan diskusi kecil bagi warga yang terkena jalan tol. Lalu sosialisasi hari itu untuk apa? bila masih menyisakan pertanyaan.
Menurut Yovita Indrayati, dosen UNIKA Soegijapranata, dalam diskusi di LEMLIT tanggal 14 September 2005, bahwa Keputusan Persetujuan atas Dokumen AMDAL bersifat konkrit, individual, final. Artinya begitu AMDAL terbit maka izin kegiatan, baru dikeluarkan. Sementara sekarang terdapat perubahan rute tentu harus didukung AMDAL baru dan izin yang diberikan atas AMDAL untuk rute lama dicabut. Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan AMDAL juga dipertanyakan dalam forum tersebut. Seharusnya masyarakat dilibatkan dalam proses AMDAL seperti bagan terlampir. Apabila AMDAL yang dibuat cacat hukum maka warga berhak mengajukan gugatan kepada tanggung gugat yaitu: pemrakarsa, konsultan, penilai, pengambil keputusan.
Dalam sosialisasi tersebut tersirat dari para pembicara, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka menerima solusi dari warga melalui Desk Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo melalui nomor 3513366 pesawat 1292. Menyikapi hal tersebut koordinator Forum Komunikasi Jalan Tol (FKJT), Didik menyatakan bahwa pihaknya pernah melayangkan surat aspirasi warga kepada Presiden, Mendagri, Mentri P.U, Gubernur JATENG, Walikota Semarang, DPRD Tk. I Propinsi Jateng, DPRD Tk. II Kota Semarang dan Bina Marga. Selain itu FKJT bersedia mengadakan audiensi untuk presentasi mengenai jalan tol Semarang-Solo.
Seperti yang telah diuraikan di awal penulisan ini di wilayah Semarang terdapat 625 bidang tanah yang akan dibebaskan dengan luas sekitar 57,19 ha. Untuk pengadaan lahan tersebut Pemkot telah menyiapkan Rp 15 milyar. Bisakah secara kasar dihitung berapa kira-kira uang kompensasi yang akan diterima masyarakat per meter persegi dengan dana yang telah disiapkan. Cukupkah? Mengingat harga pasar lahan di Tirto Agung dan Klentengsari berkisar 700 ribu-1,2 juta per meternya, belum bangunan dan tanamannya. Alih-alih bukan penggantian secara wajar yang akan diterima namun ganti rugi sekali. Apalagi keberadaan rumah merupakan salah satu kebutuhan primer dengan kondisi ekonomi serba sulit setelah naiknya BBM.
Mengenai senjata pamungkas, mohon diingat bahwa warga yang terkena dampak jalan tol Semarang-Solo merupakan warga Semarang yang legal sehingga penolakan mereka merupakan wujud hak asasi mereka atas pemilikan lahan. Sementara Perpres 36/2005 hanya dibatasi untuk kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Jalan tol bisa dikatakan bukan untuk kepentingan umum karena tidak semua unsur dapat menggunakannya, dan hanya dapat dilalui oleh kendaraan beroda 4 atau lebih. Dan untuk melewati jalan tol terdapat tarif yang harus dibayar dan bukannya gratis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembangunan jalan tol merupakan kegiatan profit dan bukan untuk kepentingan umum.
Solusi
Dengan anggapan bahwa tak ada permasalahan yang tak dapat diselesaikan. Pembangunan tol saat ini membutuhkan dana yang tidak sedikit terutama setelah naiknya BBM yang mengakibatkan harga materialpun meningkat. Saat ini merupakan saat yang belum tepat untuk melanjutkan proyek tol Semarang-Solo, tunggulah hingga dana terkumpul cukup dan ada investor dengan kekuatan modal yang mencukupi.
Minimize dana dapat dilakukan dengan melanjutkan proyek tol Semarang-Solo sesuai dengan rute yang telah ditetapkan dalam PERDA no. 12 tahun 2004. Dengan rute yang lama maka tak perlu lagi keluar biaya untuk membuat AMDAL baru, ataupun PERDA baru untuk melegalkan rute tersebut bahkan tak perlu lagi ada biaya sosialisasi atas perubahan rute baru. Proyek tol Semarang-Solo bukan proyek yang kecil dan membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga perlu direncanakan secara matang. Bila masih terdapat perubahan rute dan baru diketahui warga jumat 7 Oktober 2005, maka sifat final dari AMDAL tersebut akan menjadi pertanyaan. Ada baiknya sebelum dimulai proyek tersebut mohon dikaji ulang secara matang sehingga apabila ada pertanyaan dari masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dan bukannya alasan baru dikaji secara makro.
Beban APBN yang berat mengakibatkan pemerintah harus mengurangi subsidi BBM. Dengan kondisi demikian masihkah Pemprov ingin membuat PT. Sarana Pembangunan Jateng? Apakah nanti tidak memberati APBD? Siapa yang akan menggaji karyawan PT. Sarana Pembangunan Jateng? Siapa yang akan bekerja pada PT. Sarana Pembangunan Jateng? Bagaimana pengaturan saham dan pembagiannya? Darimana modal yang akan disertakan? Rencanakan dengan baik dan bersih serta jangan beri kesempatan KKN tumbuh di PT. tersebut. Jika tak sanggup batalkan saja rencana pendirian PT Sarana Pembangunan Jateng.
Solusi yang terakhir adalah jangan menawarkan saham atas penggantian pembebasan lahan, berapapun prosentasenya. Gantilah lahan pada rute lama sewajarnya dengan kata lain tidak menurunkan tingkat ekonomi warga yang terkena dampak tol. Bila belum mampu tunda dulu proyek tersebut.
Alternatif lain untuk memperpendek dan mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat juga dilakukan dengan memperlebar dan memperbaiki jalan yang menjadi biang macet seperti pada ruas jalan depan ADA Banyumanik, Pasar Ungaran, daerah Tuntang, Kartosuro dll. Dengan demikian tujuan pemerintah tercapai dengan anggaran yang ada tanpa mengorbankan hak warga. Selain itu biaya pelebaran dan perbaikan jalan jauh lebih murah dibanding pembuatan tol.
Last but not least adalah dengan menghidupkan transportasi hemat energi yaitu ”Kereta Api” cara yang pamungkas supaya tujuan pemerintah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas pusat kota/kabupaten dengan memperpendek jarak tempuh sehingga dapat mempercepat pertumbuhan perekonomian tetap tercapai. Pembebasan lahan untuk Kereta Api tidak seluas pembebasan untuk jalan tol. sehingga dana yang akan dikeluarkan tidak sebesar proyek jalan tol. Pemeliharaan jalur kereta api dan rel tidak semahal jalan tol, maka BEP akan cepat terpenuhi. Semua lapisan masyarakat dapat menikmati transportasi alternatif yang hemat energi. Selain itu dengan adanya jalur Kereta Api yang dibuat melintasi tempat pariwisata maka akan memudahkan turis menjangkau tempat pariwisata Jateng sekaligus menghidupkan pariwisata Jawa Tengah. Dengan pariwisata yang berkembang maka pendapatan masyarakat sekitar tempat pariwisata tersebut terangkat perekonomiannya. Sementara itu para pengusaha makanan, restoran, SPBU tidak perlu lagi khawatir akan sepi karena jalur lalu lintas beralih ke jalan tol yang baru. Tentu saja hal ini tetap harus ditunjang dengan pemeliharaan jalan yang ada dan rambu-rambu lalu lintas yang memadai.. Selamat berkarya, harumkan dan bangun Kota Semarang tanpa mencoreng nama baik sendiri.
LAMPIRAN
BAGAN
PROSEDUR KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL
Masyarakat
Berkepentingan Instansi yang
Bertanggungjawab Pemrakarsa
Sumber: Keputusan KA- BAPEDAL Nomor 08 tahun 2000