Pembangunan disegala bidang merupakan tanggungjawab bersama. Berbagai elemen di masyarakat mempunyai kepentingan dalam Pra-Proses-Pasca pembangunan, mengingat bahwa pembangunan pada akhirnya diperuntukkan untuk
manusia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang tentunya adanya keseimbangan alam dan lingkungan. Dengan demikian dalam konteks tersebut diperlukan motivator, dinamisator, mediator bahkan katalisator dari bebagai pihak.
Jalan tol identik dengan kecepatan, kelancaran, dan kemulusan sarana dan prasarana bagi kendaraan yang lewat diatasnya. Berbeda dengan jalan biasa, jalan tol memiliki keistimewaan karena yang bisa melalui hanya kendaraan yang mau memperoleh kemudahan dengan membayar tarif tertentu. Tak mengherankan, istilah jalan tol kemudian dipergunakan sebagai asosiasi atau padanan kemudahan urusan di berbagai bidang. Dalam urusan bisnis atau urusan birokrasi, misalnya. Orang yang memperoleh cara mudah menyelesaikan urusan disaat orang lain tak bisa menikmatinya, tak segan-segan berkomentar karena melalui pintu tol.
Pemerintah pusat khususnya kementrian PU sedang menggalakkan pembangunan tol Trans Jawa termasuk didalamnya adalah tol Semarang Solo (SS). Menarik kirannya untuk di simak dan disikapi berbagai kepentingan yang muncul dan potensial dalam pembangunan tersebut.
Pembangunan jalan tol Semarang Solo konon merupakan pembangunan yang melibatkan unsur Propinsi, Kota dan Kabupaten yang wilayahnya dilalui oleh rute sebagai investor dan menjadikan suatu “Kewajiban” untuk andil menanamkan saham dalam tol SS tersebut (SM 3 Oktober 2005). Hal inilah yang membedakan pembangunan tol yang sudah ada dengan tol SS. Yang menjadi pertanyaan adalah apa tepat dan dibenarkan PEMDA investasi dijalan tol. Sebagai catatan bahwa BEP dari to SS adalah 40 Tahun (Dokumen Amdal SS).
Perpres 35 tahun 2005 dan/atau Perpres 65 tanun 2006 jalan tol dikategorikan kepentingan umum, walaupun jelas2 bertentangan dan/atau ada perbedaan pengertian menurut Kepres No. 55 tahun 1993 bahwa kepentingan umum adalah kegiatan yang dilakukan Pemerintah, dimiliki Pemerintah dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Pertanyaannya sekarang adalah kepentingan umum yang bagimana yang dimaksudkan dan/atau dikategorikan dalam definisi menurut Perpres 65 tersebut. Berbagai tanggapan pro dan kontra dalam mendefinisikan makna tersebut sejak Perpres diwacanakan, disetujui dan sampai sekarang.
Berdasarkan status tol dikategorikan sebagai kepentingan umum berarti adanya pembangunan tol, semuannya mempunyai “kepentingan”, persoalannya adalah kepentingan yang bagaimana yang bisa diakomodir didalamnya, seberapa besar keuntungan yang didapatkan, bagaimana prosentase manfaatnya. Pertanyaanya adalah apakah semua konsisten dan komitmen dengan peraturan yang ada, baik secara filosofis, normatif dan imlplementasi. Fakta berbicara bahwa pembangunan hanya sebatas mengakomodir pada kepentingan pasar, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, pemilik modal dan kekuasaan. Hal tersebut dapat dibuktikan adannya peraturan yang tidak konsisten dalam pelaksanaan dilapangan.
Siapa yang berkepentingan dibalik Pembangunan Jalan Tol Semarang Solo:
Masyarakat
Masyarakat mempunyai kepentingan dalam pembangunan tol Semarang Solo, hal tersebut ada pada UUD 1945 amandemen 4, Keppres No. 55 th 1993, UU No. 26 th 2007, UU RI No. 23 th 1997, PP RI No. 27 th 1999,Kep. Bapedal No. 8 dan 9 th 2000, UU No. 38 th 2004, UU No. 31 th 1999, PERDA, Perpres 65 th 2006, Kep. BPN No. 3 th 2007. Dengan catatan jika semua konsisten dan komitmen terhadap peraturan tersebut, maka masyarakat akan diuntungkan, namun fakta berbicara lain.
Pemrakarsa dan/atau Pemerintah dan/atau P2T,
Sebaik apapun peraturan dibuat, jika tidak dijalankan dengan sebagimana amanatnya maka akan menimbulkan masalah. Pemarakasa lebih mengedepankan aspek kekuasaan, politik, ekonomi dengan mengabaikan aspek sosial, lingkungan. Fakta dilapangan, PEMDA justru menjadi “broker tanah” dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, keuntungan yang didapat akhirnya akan dimasukkan dalam kepemilikan saham, begitu juga Pejabat mendapat Return Fee dari kontraktor. Ujung-ujungnya pemilik lahanlah yang dirugikan dan masyarakat diluar ROW akan seumur-umur dirugikan, apalagi jika sepanjang rute tol di pagari, dengan tidak di imbangi pembangunan yang berwawasan lingkungan. Mestinya adanya perubahan paradigma para pemegang kekuasaan: bahwa jalan tol bukanlah satu-satunya mengatasi kemacetan dan mensejahterakan masyarakat, tetapi salah satu variabel yang dapat mengatasi kemacetan.
Perusahaan otomotif,
Dengan adanya jalan tol yang diuntungkan adalah perusahaan otomotif. Perusahaan otomotif akan berkembang pesat dengan adannya jalan tol. Meningkatnya permintaan dari konsumen membeli dan menggunakan kendaraan pribadi, mengingat akses jalan “bebas hambatan” tersedia, masyarakat enggan menggunakan angkutan umum, apalagi angkutan umum konon tidak layak.
Investor,
Investor merupakan pihak yang berkepentingan dan diuntungkan, mengingat tidak ada tanggungjawab atas kerusakan lingkungan, mereka berfikir kapan modal kembali, seberapa besar keuntungan didapat. Walaupun pernah dikatakan oleh Direktur Jasa Marga Syarifudin Alambai (Kompas, 11 Agustus 2005) bahwa investasi dijalan tol merupakan bisnis resiko tinggi, mengingat ada aturan yang menyebutkan bahwa kelak di kemudian hari investor gagal membangun dan mengelola jalan tol, pemerintah akan mengambil semua aset tol, beban utangnya tetap tanggungjawab investor. Begitu juga bank tidak berani mengucurkan kredit, apabila kredit macet tidak ada yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan hutang, apalagi aset tol yang dijadikan agunan diambil pemerintah. Dikatakan oleh Soemaryanto Widayatin, staf ahli Menteri PU masalah penghambat investasi: penjaminan resiko yang tidak jelas, peraturan perundang-undangan yang belum memenuhi standar terbaik internasional, dan kelayakan finansial proyek yang buruk.
Konsultan/Kontraktor
Menurut Bambang Kusumanto (kompas 24 Agustus 2005), konsultan dalam mengerjakan tol per kilometernya 30-40 milyar untuk dua jalur diluar harga lahan. Namun sekarang diperkiran 50 Milyar diluar harga lahan menurut Ir. Djoko Setijowarno, MT. Keuntungan yang besar yang memicu para kontraktor untuk berebut tender mengerjakan jalan tol.
Jalan tol identik dengan kecepatan, kelancaran, dan kemulusan sarana dan prasarana bagi kendaraan yang lewat diatasnya. Berbeda dengan jalan biasa, jalan tol memiliki keistimewaan karena yang bisa melalui hanya kendaraan yang mau memperoleh kemudahan dengan membayar tarif tertentu. Tak mengherankan, istilah jalan tol kemudian dipergunakan sebagai asosiasi atau padanan kemudahan urusan di berbagai bidang. Dalam urusan bisnis atau urusan birokrasi, misalnya. Orang yang memperoleh cara mudah menyelesaikan urusan disaat orang lain tak bisa menikmatinya, tak segan-segan berkomentar karena melalui pintu tol.
Pemerintah pusat khususnya kementrian PU sedang menggalakkan pembangunan tol Trans Jawa termasuk didalamnya adalah tol Semarang Solo (SS). Menarik kirannya untuk di simak dan disikapi berbagai kepentingan yang muncul dan potensial dalam pembangunan tersebut.
Pembangunan jalan tol Semarang Solo konon merupakan pembangunan yang melibatkan unsur Propinsi, Kota dan Kabupaten yang wilayahnya dilalui oleh rute sebagai investor dan menjadikan suatu “Kewajiban” untuk andil menanamkan saham dalam tol SS tersebut (SM 3 Oktober 2005). Hal inilah yang membedakan pembangunan tol yang sudah ada dengan tol SS. Yang menjadi pertanyaan adalah apa tepat dan dibenarkan PEMDA investasi dijalan tol. Sebagai catatan bahwa BEP dari to SS adalah 40 Tahun (Dokumen Amdal SS).
Perpres 35 tahun 2005 dan/atau Perpres 65 tanun 2006 jalan tol dikategorikan kepentingan umum, walaupun jelas2 bertentangan dan/atau ada perbedaan pengertian menurut Kepres No. 55 tahun 1993 bahwa kepentingan umum adalah kegiatan yang dilakukan Pemerintah, dimiliki Pemerintah dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Pertanyaannya sekarang adalah kepentingan umum yang bagimana yang dimaksudkan dan/atau dikategorikan dalam definisi menurut Perpres 65 tersebut. Berbagai tanggapan pro dan kontra dalam mendefinisikan makna tersebut sejak Perpres diwacanakan, disetujui dan sampai sekarang.
Berdasarkan status tol dikategorikan sebagai kepentingan umum berarti adanya pembangunan tol, semuannya mempunyai “kepentingan”, persoalannya adalah kepentingan yang bagaimana yang bisa diakomodir didalamnya, seberapa besar keuntungan yang didapatkan, bagaimana prosentase manfaatnya. Pertanyaanya adalah apakah semua konsisten dan komitmen dengan peraturan yang ada, baik secara filosofis, normatif dan imlplementasi. Fakta berbicara bahwa pembangunan hanya sebatas mengakomodir pada kepentingan pasar, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, pemilik modal dan kekuasaan. Hal tersebut dapat dibuktikan adannya peraturan yang tidak konsisten dalam pelaksanaan dilapangan.
Siapa yang berkepentingan dibalik Pembangunan Jalan Tol Semarang Solo:
Masyarakat
Masyarakat mempunyai kepentingan dalam pembangunan tol Semarang Solo, hal tersebut ada pada UUD 1945 amandemen 4, Keppres No. 55 th 1993, UU No. 26 th 2007, UU RI No. 23 th 1997, PP RI No. 27 th 1999,Kep. Bapedal No. 8 dan 9 th 2000, UU No. 38 th 2004, UU No. 31 th 1999, PERDA, Perpres 65 th 2006, Kep. BPN No. 3 th 2007. Dengan catatan jika semua konsisten dan komitmen terhadap peraturan tersebut, maka masyarakat akan diuntungkan, namun fakta berbicara lain.
Pemrakarsa dan/atau Pemerintah dan/atau P2T,
Sebaik apapun peraturan dibuat, jika tidak dijalankan dengan sebagimana amanatnya maka akan menimbulkan masalah. Pemarakasa lebih mengedepankan aspek kekuasaan, politik, ekonomi dengan mengabaikan aspek sosial, lingkungan. Fakta dilapangan, PEMDA justru menjadi “broker tanah” dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, keuntungan yang didapat akhirnya akan dimasukkan dalam kepemilikan saham, begitu juga Pejabat mendapat Return Fee dari kontraktor. Ujung-ujungnya pemilik lahanlah yang dirugikan dan masyarakat diluar ROW akan seumur-umur dirugikan, apalagi jika sepanjang rute tol di pagari, dengan tidak di imbangi pembangunan yang berwawasan lingkungan. Mestinya adanya perubahan paradigma para pemegang kekuasaan: bahwa jalan tol bukanlah satu-satunya mengatasi kemacetan dan mensejahterakan masyarakat, tetapi salah satu variabel yang dapat mengatasi kemacetan.
Perusahaan otomotif,
Dengan adanya jalan tol yang diuntungkan adalah perusahaan otomotif. Perusahaan otomotif akan berkembang pesat dengan adannya jalan tol. Meningkatnya permintaan dari konsumen membeli dan menggunakan kendaraan pribadi, mengingat akses jalan “bebas hambatan” tersedia, masyarakat enggan menggunakan angkutan umum, apalagi angkutan umum konon tidak layak.
Investor,
Investor merupakan pihak yang berkepentingan dan diuntungkan, mengingat tidak ada tanggungjawab atas kerusakan lingkungan, mereka berfikir kapan modal kembali, seberapa besar keuntungan didapat. Walaupun pernah dikatakan oleh Direktur Jasa Marga Syarifudin Alambai (Kompas, 11 Agustus 2005) bahwa investasi dijalan tol merupakan bisnis resiko tinggi, mengingat ada aturan yang menyebutkan bahwa kelak di kemudian hari investor gagal membangun dan mengelola jalan tol, pemerintah akan mengambil semua aset tol, beban utangnya tetap tanggungjawab investor. Begitu juga bank tidak berani mengucurkan kredit, apabila kredit macet tidak ada yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan hutang, apalagi aset tol yang dijadikan agunan diambil pemerintah. Dikatakan oleh Soemaryanto Widayatin, staf ahli Menteri PU masalah penghambat investasi: penjaminan resiko yang tidak jelas, peraturan perundang-undangan yang belum memenuhi standar terbaik internasional, dan kelayakan finansial proyek yang buruk.
Konsultan/Kontraktor
Menurut Bambang Kusumanto (kompas 24 Agustus 2005), konsultan dalam mengerjakan tol per kilometernya 30-40 milyar untuk dua jalur diluar harga lahan. Namun sekarang diperkiran 50 Milyar diluar harga lahan menurut Ir. Djoko Setijowarno, MT. Keuntungan yang besar yang memicu para kontraktor untuk berebut tender mengerjakan jalan tol.